Mengenai Saya

Foto saya
NEGERI ADMINISTRATIF KARLUTUKARA Luas Pemukiman Masyarakat Negeri Karlutukara : 6 Ha, Luas Wilayah Petuanan Masyarakat : 3500Ha.

Senin, 29 Agustus 2011

SEJARAH NEGERI KARLUTUKARA


I. PENDAHULUAN
Masyarakat Negeri Karlutukara adalah merupakan masyarakat asli Nunusaku yang termasuk dalam rumpun Patalima. Mereka bukan kelompok transmigran atau pendatang dari pulau-pulau lain diluar pulau seram. Secara geografis letak dan kedudukan Negeri Karlutukara berada disebelah Utara Pulau Seram yakni dikecamatan Seram Utara Barat, Kabupaten Maluku Tengah, tepatnya disisi kiri dan kanan sungai Kara di antara Negeri Paa dan negeri Pasanea Kecamatan Seram Utara Barat.
Sebagai masyarakat asal Nunusaku, tentu Negeri Karlutukara memiliki cerita-cerita tentang sejaranya, baik itu sejarah lahirnya, sejarah nomademnya, sejarah hubungan Pela, sejarah hubungan gandong (adik-kakak), sejarah hubungan persaudaraan, sejarah penguasaan terhadap petuanan wilayah hingga terbentuk atau tertatanya Negeri Karlutukara sebagai sebuah Negeri yang sah di Republik Indonesia.
Bahwa sejarah yang dimaksudkan adalah kisah-kisah nyata berdasarkan tuntutan leluhur dari fakta-fakta yang terjadi. Sejarah ini sama sekali bukanlah suatu rekayasa. Cerita ini hendak member gambaran yang jelas dan lugas tentang jati diri Negeri Karlutukara.

II. NEGERI KARLUTUKARA DALAM LINTAS SEJARAH NUNUSAKU
1. Sejarah Lahirnya Negeri Karlutukara.
Dahulu kala leluhur kita tinggal bersama leluhur-leluhur lain yang ada di pulau seram diNunusaku. Setelah pecahnya perang Nunusaku maka leluhur Negeri Karlutukara tergabung dalam rumpun Patalima (5 suku) yang menuju ke Sapulau latale. Setelah disapulau latale, terjadi peristiwa besar yang menyulut perang antar orang –orang patalima, yakni pembunuhan terhadap puteri Rapie Hainuele. Rapie Hainuele artunya puteri kelapa, alkisah sang puteri ditemukan oleh seorang yang bernama Tuale. Tuale dalam kesehariannya sebagai seorang petifar kelapa (sageru kelapa). Suatu ketika pada saat iya sedang mengiris mayang kelapa, jari tangannya teriris dan mengeluarkan darah, tetesan darahnya menetes pada dahan-dahan kelapa. Keesokan harinya ketika iya kembali untuk melakukan pekerjaan menifar, ternyata di jumpai olehnya seorang anak perempuan dipohon kelapa yakni ditempat tetesan darah itu. Anak tersebut kemudian dipelihara olehnya, dengan hanya memberikan air segeru kelapa sebagai makanannya. Rapie Hainuele tumbuh sebagai puteri cantik, ia berpakaian emas dan menjadi rebutan banyak lelaki di waktu itu.
Suatu ketika ada pesta besar disapulau latale. Pesta itu dalam bahasa adat dikenal dengan istilah kahua. Seluruh masyarakat Sapulau Latale menghadiri acara akbar itu. Menurut cerita, Kahua itu berjumlah Sembilan puluh Sembilan lingkaran, Tuale dan sang puteri berada dilingkaran kesembilan. Dalam Kahua itu terjadi perebutan terhadap sang puteri, perebutan itu berbuntut pada terjadi pembunuhan terhadap sang Puteri, seluruh pakaian kemegahan sang Puteri dirampas. Tuale berupaya melerai namun yang Ia dapatkan hanyalah sepenggal Apane dari sang puteri. Upaya dari Tuale untuk melerai dalam peristiwa tersebut menjadikan Kapitan-kapitan besar dikala itu mennyebutnya dengan istilah “ Kulutu” yang artinya tukang pele.
Ketika pembunuhan itu terjadi maka muncullah perang antar suku yang begitu hebat. Tuale dan orang-orang Sapulau latale yang ada dilingkaran kesembilan itu bergabung dan menyebut diri mereka kulutu. Orang-orang Kulutu lalu melakukan perjalanan keluar dari Sapulau Latale. Perjalanan nomaden yang dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama, tibalah mereka di Tamasiwa mereka tinggal tidak begitu lama karena tempat tersebut dirasakan tidak aman. Dari Tamasiwa mereka melakukan perjalanan lagi dan tiba di Patuwaoi.
Dengan demikian semenjak pecahnya perang di Sapulau latale akibat pembunuhan terhadap Puteri Rapie Hainuele, disitulah awal terbentuknya masyarakat Kulutu.
2. Sejarah Terjadinya Pela Darah.
Dari Tamasiwa, Orang kulutu melakukan perjalanan ke Patu Waoi atau Patu Mani sebutan orang Mani. Perjumpaan dimaksud berujung perang perebutan wilayah kekuasaan. Perang yang memakan banyak korban itu berakhir ketika Kapitan Mawasa (kapitan Mani) dibunuh oleh kapitan sakela (kapitan Kulutu), saat itulah dibuat perjanjian damai “Sumpah Pela” yang ditandai dengan meminum darah. Orang mani kemudian meninggalkan Patu Mani dan orang Kulutu mendudukinya, nama patu Mani kemudian diganti menjadi Patu Waoi.
Menyinggung tentang orang Mani maka perlu dijelaskan bahwa dahulu Mani adalah sebuah Negeri, namun kini negeri tersebut telah hilang dan masyarakatnya tersebar pada negeri-negeri diteluk Elpaputih yakni seperti Negeri Wasia, Negeri Sanahu, Negeri Sapaloni, Negeri Sahulau dan Negeri Waraka. Hubungan Kulutu dengan Mani masih dipertahankan hingga kini dimana pada bulan oktober Tahun 2006 Orang-orang mani datang ke Karlutukara untuk melaksanakan kegiatan adat, kegiatan itu bukanlah panas Pela tetapi merupakan reini antara anak cucu, pada bulan januari pada saat peresmian Negeri Karlutukara, Pela Mani ikut membawa atitingnya berupa satu ekor sapi.
Dalam kehidupan keseharian pasca Sumpah Pela Darah tersebut, orang Mani dan orang Karlutukara dilarang sling mengawini, tidak boleh saling member benda tajam seperti parang, tombak dan panah, serta dilarang juga saling memberi api. Dengan demikian semenjak peristiwa Patu Waoi, mani dan karlutu manjadi Pela Darah yang teramat sacral.
3. Sejarah Hubungan Adik Dan Kakak.
Di Patu Waoi kulutu tinggal dan bercocok tanam, mereka tinggal berpuluh-puluh tahun lamanya , waktu itu orang kulutu diperintahkan oleh Upulatu Latukulutu. Upulatu beristrikan Polawa, polawa mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Pisa Asi, dan seorang anak perempuan bernama Pouwe.
Suatu ketika terjadi kasus perselingkuhan antara Latukulutu dengan adik Iparnya Pisa Asi, peristiwa itu amatlah memalukan, Pisa Asi akhirnya melarikan diri kehutan (keluar dari Patu Waoi). Polawa kemudian memintah segerombolan orang untuk mencari Pisa Asi guna membujuknya kembali pulang ke Negeri namun upaya tersebut gagal, Pouwe anak gadis Polawa turut serta dalam rombongan itu. Rombongan itu kemudian terus mengawal Pisa Asi dan Pouwe berjalan menuju arah timur. Peristiwa tersebut lebih dikenal dengan peristiwa perpisahan Adik dan Kakak.
Dalam perjalanan rombongan tersebut dibagi dalam 3 fungsi.
1. Rumamelete : Menjaga Pisa Asi didalam rumah yang gelap yang sekarang difungsikan sebagai mata rumah perintah.
2. Soakalune : Membuat rumah untuk Pisa Asi yang sekarang difungsikan sebagai Raja tanah.
3. Maahaly : Pengawal utama didepan dan pencari damar untuk untuk menerangi rumah Pisa Asi yang sekarang difungsikan sebagai kapitan.
Perjalanan nomaden tersebut menghantarkan Pisa Asi dan rombongannya tiba di Wakahuwei. Dari Wakahuwei mereka melakukan perjalanan ke arah tdan bertemu timur dn bertemu dengan orang Lesiela di Waelepapui, peristiwa tersebut hampir menimbulkan perang namun atas perundingan diletakanlah batas petuanan antara Karlutu dan Lesiela.
Dengan demikian berbicara hubungan adik dan kakak secara historis orang Karlutukara hanya mengenal Karlutu Sululua yang tinggal bersebelahan yang tinggal berdekatan dengan Warasiwa sekarang. Tidak ada hubungan adik kakak lain. Sebab berbicara tentang hubungan adik kakak itu berarti kita berbicara tentang asal mula beradanya kita dan dari mana kita lahir. Karlutukara dan Karlutu Sululua memiliki hubungan pertalian darah, ini adalah sebuah fakta sejarah yang tidak akan pernah berubah walau zaman itu berubah.
4. Sejarah Hubungan Persaudaraan.
Dari Waelepapui orang karlutu kemudian diantar oleh orang Lesiela ke Waeletihu yakni batas antara Wai Yarate cabang kiri dan cabang kanan. Kemudian orang karlutu melanjutkan perjalanan terus kearah timur, dan tiba dihulu sungai kara. Dilihat oleh orang Karlutu sungai ini cukup baik, daerahnya aman, mereka kemudian menyusuri sungai Kara kearah pantai, dan tibalah mereka digunung Hisa Papa. Hisa Papa bagi mereka adalah tempat tinggal terbaik, karena letak diatas gunung. Dari gunung Hisa Papa, Orang Karlutu dapat mengamati datangnya musuh, perlu diketahui bahwa didepan negeri lama ditanami rumpun bambu duri. Hal ini dimaksud sebagai benteng pertahanan terhadap serangan musuh. Disebut wai kara atau sungai kara karena mata airnya keluar dari batu karang. Kara artinya batu karang. Orang Karlutu begitu melekat dengan wai kara, Wai Kara sebagai sumber kehidupan dan orang Karlutu sebagai pemiliknya dengan demikian nama Karlutu kemudian ditambahkan Kara menjadi Karlutukara.
Suatu ketika disaat perempuan-perempuan Karlutukara sementara mengambil air untuk minum Wai Kara, tepatnya di Anute mereka melihat ada segerombolan orang datang dari arah utara (pantai), gerombolan orang-orang tersebut ternyata orang-orang Paa. Orang Paa sementara mencari tempat yang aman untuk menghindari ancaman perang dari orang Wailulu. Orang-orang Paa yang berjumpa dengan Orang Karlutukara adalah sisa-sisa mereka yang berhasil mereka yang berhasil lolos dari liang Apurara ketika disirami oleh orang Wailulu dengan kapur.
Perjumpaan tersebut mendorong orang Karlutu untuk mengambil orang Paa dan tinggal di Hisa Papa, karena itu orang Karlutukara dan Paa saling menyapa sebagai orang basudara. Tinggal berdampingan, hidup bersama sebagai orang basudara mengindikasikan bahwa orang Karlutukara dan orang Paa saling membutuhkan baik itu dalam kehidupan keseharian maupun dalam hal saling memberi rasa damai. Karena rasa persaudaraan yang tinggi maka dalam perjalanan-perjalanan nomadem selanjutnya untuk menuju ke pantai tempat bermukim kedua sekarang ini dilakukan secara bersama-sama. Dari Hisa Papa, orang Karlutu dan Paa menuju ke Wai Sala. Orang Karlutu tinggal disisi sebelah timur Wai Sala dan Orang Karlutu tinggal disisi sebelah barat. Pada suatu ketika moyang Maahaly dimakan oleh buaya, orang Karlutukara memutuskan untuk kembali Hisa Papa. Orang Paa pun ikut kesana.
Prinsip hidup sebagai orang basudara adalah satu pola hidup yang terbina jauh sebelum orang Karlutukara dan Paa mengenal Agama. Upaya memupuk kehidupan orang basudara hingga kini masih terus dilakukan yakni setiap kali dilaksanakan pesta rakyat Karlutukara (makan patita) pada awal tahun baru. Dalam acara tersebut orang Paa diundang sebagai tamu kehormatan nageri.
Demikian selayang pandang sebagai upaya memperkenalkan identitas Negeri Karlutura dari sisi adat.

Sumber : Edwin Latue, S.Si mantan Pejabat Pemerintahan Negeri Karlukara,
Tahun 2008-2011

4 komentar:

  1. Waaaahhh... Beta baru tau dengan jelas sejarah Karlutukara...
    Trimakasih banyak. Kiranya Katong samua tetap mempertahankan tali persaudaraan dan saling menopang satu dengan yang lain..
    secara khusus bagi Anak-anak Kelu yangada si perantauan.

    Tuhan Yesus memberkati...

    BalasHapus
  2. Maaf sodarah kalau boleh tau orang paa ini orang matapa ka?

    BalasHapus
  3. Tentang fungsi matarumah yg dibeberkan adalah omong kosong belaka.

    BalasHapus